Pantau.online
Untuk kesekian kalinya, oknum Polres Batubara yang bertugas di Sat Res Narkoba dan oknum jaksa Kejari Batubara kembali diduga melakukan pemerasan modus pengurusan perkara.
Adanya dugaan pemerasan berkedok pengurusan perkara ini diungkap oleh Thomy Faisal, kuasa hukum dari NH, suami dari RH, terduga pemilik narkoba.
Usai membuat laporan ke Asisten Pengawas Kejati Sumut, Thomy mengatakan pemerasan yang dialami kliennya ini bermula saat sejumlah polisi mendatangi rumah RH dan NH pada 19 Januari 2023 lalu.
Sekira pukul 10.00 WIB, sejumlah oknum polisi dari Sat Res Narkoba Polres Batubara menggeledah kediaman kliennya tanpa didampingi siapapun
Ketika itu, suami kliennya dituduh menguasai sabu seberat 17 gram.
"Sejumlah polisi itu datang naik mobil," kata Thomy, Jumat (7/7/2023) malam.
Setelah mengaku mendapatkan 17 gram sabu, para polisi ini lantas mengambil uang Rp 4 juta milik RH dan istrinya NH.
Uang Rp 4 juta itu sebenarnya hasil penjualan nasi.
"Kemudian mereka (RH dan NH) dibawa masuk ke mobil," kata Thomy.
Setelah masuk ke mobil, RH dan istrinya NH dibawa pergi oleh polisi.
Namun, di perjalanan, mobil sempat berhenti.
"Oknum polisi kemudian mengambil HP milik NH dan meminta pin ATM nya," kata Thomy.
Saat itu, NH tak mau memberikan pin ATM nya kepada oknum polisi Polres Batubara tersebut.
Namun, karena polisi menakut-nakuti dan mengancam NH, terpaksa nomor pin tersebut diberikan pada polisi.
Setelah dibuka dari mobile banking, terlihat bahwa saldo di rekening NH sebanyak Rp 11 juta.
Kala itu, polisi yang menangkap RH dan NH langsung mentransfer uang Rp 9 juta ke rekening yang diduga keras bagian dari mereka.
Dihari yang sama, tersangka RH diancam agar menghubungi orang luar untuk mentransfer uang senilai Rp 200 juta agar dibebaskan.
Entah cemana negonya, terakhir Rp 150 juta dealnya," kata Thomy.
Selanjutnya, RH pun menghubungi kenalannya.
Lalu, ditransferlah uang Rp 70 juta.
"Menurut klien saya, mungkin yang transfer agak ragu. Karena ragu, sisa Rp 80 juta tidak dikirim," kata Thomy.
Karena menunggu terlalu lama, oknum polisi pun menggiring tersangka hingga ke sel.
Beberapa minggu kemudian, atau awal Februari 2023, lanjut Thomy, kliennya bertemu dengan oknum penyidik Sat Res Narkoba Polres Batubara di Kejari Batubara.
Kala itu, polisi yang datang mengaku akan menjembatani penanganan kasusnya kepada jaksa Y.
"Bertiga (jaksa, penyidik, dan NH) di dalam ruangan membahas tentang hukuman. Dalam pertemuan, jaksa meminta uang Rp 50 juta dengan tujuan memperingan hukuman tersangka," ucapnya.
Merasa tak sanggup untuk membayar sesuai permintaan jaksa, NH pun lantas pulang ke rumahnya.
Pada 20 Februari 2023, karena klien kami ditelfon oleh jaksa, klien kami datang ke Kejari Batubara dan menemui jaksa dengan memberikan uang Rp 25 juta," bebernya.
Berselang 6 hari, jaksa Y kembali menghubungi NH untuk meminta uang Rp 5 juta, dan langsung dikirim oleh NH ke rekening jaksa atas nama Y.
Lalu, tanggal 2 Maret 2023, jaksa Y mengembalikan uang Rp 5 juta ke rekening NH.
Selanjutnya, tanggal 21 Maret 2023, NH meminta kepada jaksa agar uangnya dikembalikan, karena tidak sanggup untuk melunasi permintaan jaksa.
Karena diminta, jaksa mengelak dengan mengatakan uangnya sudah diberikan kepada orang lain.
Berulang kali klien kami menghubungi jaksa meminta agar uangnya dikembalikan, tapi jaksa tersebut belum juga mengembalikan uang dimaksud. Hingga 10 April 2023, jaksa Y mengatakan kepada klien kami untuk menghubungi penyidik terkait pengembalian uang tersebut," ucapnya.
Merasa tak tenang, pada 17 April 2023, NH diblokir oleh jaksa melalui WhatsApp.
Akhirnya, karena tidak menemukan jalan keluar, NH meminta tolong kepada Thomy untuk membantu meminta pengembalian uang tersebut.
"Tanggal 5 Juni 2023, saya mendatangi kantor Kejari Batubara dan mencari jaksa Y tapi tidak berada di tempat. Tak lama, jaksa Y pun mengembalikan uang tersebut kepada klien kami dengan melalui orang lain," urainya.
Keesokan harinya, Thomy menghubungi jaksa Y, dan memberitahu bahwa dirinya selaku kuasa hukum dari NH dengan mengirimkan file terkait dugaan pemerasan dan dugaan tindak pidana korupsi.
Namun, jaksa Y hanya membaca pesan dari Thomy.
Keesokkan harinya, saat Thomy meminta klarifikasi dari jaksa, diketahui ternyata jaksa Y telah memblokir nomornya.
Dalam perkara ini, Thomy selaku kuasa hukum dari NH telah melayangkan laporan ke Kejati Sumut pada Jumat (7/7/2023).
"Kami sudah kirim semua (bukti) ke Jaksa Agung Bidang Pengawasan. kemudian Kajati Sumut dan Asisten Pengawasan Kejati Sumut. Untuk polisi, kita sudah kirim surat semua selain ke Propam Polda Sumut. Kami juga sudah kirim (laporan) ke Dirkrimum Polda Sumut, Irwasda, Kabid Propam, Kapolri, Irwasum, Kabid Provos, dan lainnya," ucapnya.
Kasi Penkum Kejati Sumut, Yos Arnold Tarigan mengatakan bahwa dirinya tidak tahu ada kasus tersebut.
Sejauh ini tidak ada permasalahan di Kejari Batubara selain yang viral kemarin, barusan kami koordinasikan dengan pihak kejari," kata Yos.
Disinggung soal laporan yang sudah masuk ke Kejati Sumut, Yos mengatakan pihaknya akan melakukan pengecekan dan mempelajari laporan tersebut.
"Terkait adanya laporan, akan kita cek dan dipelajari nantinya," pungkasnya.
Yang Sebelumnya Lolos dari Jerat Hukum
Dugaan kongkalikong antara oknum polisi Polres Batubara dan oknum jaksa Kejari Batubara sebenarnya sudah pernah terjadi beberapa waktu lalu
Kala itu, ada tiga orang oknum polisi Polres Batubara yang diduga terlibat dugaan pemerasan bersama jaksa Kejari Batubara berinisial EKT.
Adapun tiga anggota Polres Batubara yang namanya muncul dan dituding sudah menerima uang hasil pemerasan dari S, ibu tersangka narkoba berinisi MRR adalah Aiptu FZ, Aipda DI, dan Bripka DD.
Ketiganya memperoleh uang berbeda
Adapun rinciannya Aiptu FZ Rp 8 juta, Aipda DI, dan Bripka DD sebesar Rp 3 juta.
AKBP Jose Fernandes ketika dikonfirmasi mengatakan, dia masih akan mendalami informasi ini.
"Mohon waktu. Kita dalami terkait pemberitaan diatas," kata Jose singkat, Jumat (12/5/2023).
Menurut Tomy Faisal Pane, penasihat hukum keluarga tersangka, dugaan pemerasan ini berawal ketika petugas Sat Res Narkoba Polres Batubara menangkap MRR (25).
Lalu, ibu MRR, S (57) bertanya kepada Aiptu EZ yang merupakan tetangganya.
Kemudian Aiptu EZ mempertemukan ibu korban dengan jaksa EK," kata Tomy, Kamis (11/5/2023).
Tomy mengatakan, saat bertemu dengan jaksa EK, oknum jaksa nakal itu
Setelah sepakat, uang kemudian disetorkan secara bertahap.
"Dalam video itu, sudah setoran yang keempat kalinya. Dimana oknum jaksa itu meminta uang Rp 30 juta," kata Tommy.
"Sebagai DP, ibu korban hanya sanggup memberikan Rp 20 juta. Kemudian, setoran kedua diserahkan Rp 5 juta," kata Tommy.
Dikarenakan ibu S tidak memiliki uang, dan menyadari telah diperas, S kemudian berinisiatif merekam jaksa EK dan petugas honorer berinisial B.
"Karena ibu tersangka tersebut sudah tidak memiliki uang lagi memikirkan bagaimana agar tidak diperlanjut lagi untuk pemerasan tersebut, sehingga dibuatlah video oleh ibu tersangka," ujarnya.
Atas kejadian itu, ibu korban merasa takut dan meminta perlindungan kepada Tomy.
Katanya, saat ini ibu S telah memiliki utang sebesar Rp 50 juta, dan uang tersebut telah disetor ke oknum jaksa EK sebesar Rp 35 juta, Aiptu FZ Rp 8 juta, Aipda DI, dan Bripka DD sebesar Rp 3 juta.
"Seluruhnya oknum polisi bertugas di Batubara, dan uang yang dari oknum jaksa dan Aiptu FZ dikembalikan ke klien saya," katanya.
Atas perkara ini, pihaknya pun melapor ke Aswas Kejati Sumut dan Bid Propam Polda Sumut.
Setelah pemberitaan ini mencuat, Kejari Batubara kasak-kusuk.
Terlebih informasi ini sudah sampai ke Kejagung RI.
Ada jaksa Kejari Batubara EKT, yang saat ini proses pemecatannya tengah diproses Kejati Sumut.
EKT ketahuan melakukan pemerasan kepada Sarlita, orangtua tersangka narkoba berinisial MRR.
Saat pertama kali meminta uang, EKT meminta Sarlita menyiapkan Rp 100 juta.
Namun Sarlita tidak mampu, hingga disepakati uang yang akan disetor Rp 80 juta.
Setelah uang diserahkan sebanyak Rp 35 juta, Sarlita sadar dirinya menjadi korban pemerasan.
Sarlita kemudian melapor ke Kejati Sumut, dan video oknum jaksa EKT saat meminta uang tersebar.
Dalam perkara ini, oknum jaksa EKT tidak sendirian.
Ada tiga oknum Polres Batubara yang diduga terlibat.
Mereka yang terlibat adalah Aiptu FZ, Aipda DI dan Bripkda DD.
Ketiganya mendapatkan uang dengan nilai bervariasi.
Aiptu FZ mendapat Rp 8 juta, Aipda DI dan Bripka DD masing-masing sebesar Rp 3 juta.
Belakangan, Kapolres Batubara, AKBP Jose D.C Fernandes membantah anak buahnya terlibat.
Jose bilang yang melakukan dugaan pemerasan hanya jaksa saja.
2. 10 Jaksa Kejari Asahan Dilaporkan Melakukan Pemerasan
10 oknum jaksa Kejari Asahan dilaporkan melakukan dugaan pemerasan terhadap keluarga tersangka narkoba dan pencurian.
Adapun ke 10 oknum jaksa Kejari Asahan yang dilapor ke Kejati Sumut itu yakni FS, RH, CS, RT, B, G, E, HM, NF, dan S.
Kajati Sumut, Idianto mengatakan pemeriksaan terhadap ke 10 anak buahnya ini masih berjalan.
Ia mengatakan tim pemeriksa tengah memintai keterangan para saksi.
Dalam menjalankan aksinya, para jaksa nakal ini tidak hanya meminta uang, tapi ada juga yang meminta mobil.
3. Jaksa Kejari Tebingtinggi Minta Uang 'Vitamin'
Oknum jaksa Kejari Tebingtinggi bernama Edwin Anasta Oloan Tobing atau Edwin Tobing diduga melakukan jual beli perkara modus minta 'uang vitamin'.
Jaksa Edwin Tobing minta uang Rp 4,5 juta, yang nantinya akan dibagi kepada sejumlah jaksa, yang menangani perkara penganiayaan.
Sebab, kepada korbannya, Edwin Tobing menyebut kalimat "kami", yang merujuk pada tim jaksa Kejari Tebingtinggi.
Kasus dugaan jual beli perkara ini terbongkar tatkala rekaman percakapan antara jaksa Edwin Tobing dan keluarga dari wanita bernama Wanda Sri Wardani beredar.
Diketahui, Wanda Sri Wardani adalah tersangka dalam kasus penganiayaan.
Wanda Sri Wardani sebelumnya dilaporkan oleh Susilawati ke Polres Tebingtinggi.
Dalam perkara ini, Wanda Sri Wardani sebenarnya juga melaporkan Susilwati.
Anehnya, hanya perkara Wanda Sri Wardani yang lanjut, hingga pelimpahan tahap dua.
Sementara laporan terhadap Susilawati, belum berlanjut.
Singkat cerita, dalam percakapan by phone antara jaksa dan keluarga Wanda, kedua belah pihak sepakat bertemu di Kedai Kopi Kopang - Jalan Dr Sutomo, Kota Tebingtinggi, pukul 12.00 WIB lewat.
Jaksa Edwin meminta percakapan jangan melalui telepon karena khawatir disadap.
Namun pembicaraan terus berjalan.
Terekam suara bahwa jaksa Edwin Tobing menjanjikan bisa memenuhi permintaan keluarga Wanda Sri Wardani, yang mana ingin agar Susilawati bisa ikut ditahan dan menjalani proses hukum seperti Wanda.
4. Mantan Kasi Intel Kejari Siantar Diduga Akali Hasil Audit Dugaan Korupsi
Bas Faomasi Jaya Laia, oknum jaksa Kejagung RI, yang merupakan mantan Kasi Intelijen Kejari Siantar diduga memanipulasi data kerugian kasus dugaan korupsi proyek jembatan di Kota Siantar.
Karena ketahuan diduga mengakali kerugian negara dugaan korupsi tersebut, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kemudian turun tangan.
Menurut hasil audit BPK RI pada April 2020 lalu, kerugian negara pada proyek jembatan VIII Sta 13+441 sampai dengan Sta 13+436 di Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Siantar itu mencapai Rp 2,9 miliar, dari pagu anggaran Rp 14,4 miliar.
Namun, oleh Bas Faomasi Jaya Laia, kerugian negara tersebut diubah menjadi Rp 304 juta.
Angka Rp 304 juta itu dibuat Bas Faomasi Jaya Laia setelah menggandeng Politeknik Negeri Medan (Polmed).
Perubahan kerugian negara ini bahkan tak diketahui Kejari Siantar, apakah telah disingkronkan dengan temuan BPK RI yang muncul di awal kasus.
Tanah
Oknum jaksa di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, diduga terlibat dalam dugaan kasus mafia tanah.
Dia kini telah diperiksa oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung RI.
"Satu laporan (kasus mafia tanah) dari Tapanuli Selatan diteruskan ke Jamwas. Karena laporan diduga ada oknum jaksa yang ikut bermain," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Febrie Adriansyah kepada wartawan, Kamis (20/1/2022).
Namun, dia tidak menjelaskan identitas jaksa yang diduga terlibat kasus mafia tanah tersebut.
Sebaliknya, dia juga tak menjelaskan secara rinci terkait perkara yang dimaksudkan.
6. Jaksa Kejari Tanjungbalai Diduga Palsukan Dokumen Korupsi
Oknum Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjungbalai bernama Joharlan dilaporkan ke Polda Sumut.
Selain dilaporkan ke Polda Sumut, Joharlan juga dilaporkan ke Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI.
Menurut Daman Sirait, anggota DPRD Tanjungbalai, JPU Joharlan diduga memalsukan dokumen tanda tangan miliknya.
Adapun pemalsuan dokumen tanda tangan itu terjadi dalam berkas acara pemeriksaan (BAP) kasus dugaan korupsi proyek jalan lingkar di Kecamatan Sei Tualang Raso, Kota Tanjungbalai.
7. Jaksa Kacabjari Labuhan Deli Memeras
Oknum jaksa Cabjari Labuhan Deli bernama Berkat dituding memeras keluarga tersangka penadah motor.
JPU berkat meminta uang Rp 30 juta kepada Muthia, istri tersangka penadah motor bernama Adi.
Oknum jaksa itu sempat diperiksa, tapi belum jelas hasilnya sampai saat ini.
Sumber dari : tribun.com