Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dan ekonomi global dalam tekanan hebat dalam sepekan terakhir. Bursa saham hingga mata uang global rontok karena meningkatnya ketidakpastian.
Ketidakpastian tersebut dipicu oleh memanasnya perang Israel-Hamas, proyeksi masih hawkishnya kebijakan suku bunga di Amerika Serikat (AS) dan berbagai negara, merangkaknya harga minyak, hingga perlambatan ekonomi global.
Bursa saham dunia hampir semua rontok pada pekan ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk 1,3% sepekan. Bursa Wall Street juga rontok.
Indeks Dow Jones rontok 2,1%, indeks S&P ambruk 2,5%, sementara indeks Nasdaq jatuh 2,6%. Indeks Nikkei melemah 0,86% dan indeks Strait Times Singapura melandai 0,5%.
Mayoritas utang dunia juga rontok karena perkasanya dolar AS. Rupiah, yuan renminbi, dan won masuk dalam deretan yang rontok sepekan.
perkasanya dolar AS. Rupiah, yuan renminbi, dan won masuk dalam deretan yang rontok sepekan.
Setidaknya ada empat penyebab mengapa pasar keuangan begitu tertekan pada pekan ini:
1. Capital outflow
Investor asing memilih menjual aset di Emerging Market dan menginvestasikan dananya kembali ke AS di tengah ketidakpastian serta tingginya imbal hasil US Treasury. Indonesia merupakan salah satu Emerging Market yang mendapat tekanan hebat dari capital outflow.
Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) bahkan secara khusus menyoroti besarnya investor asing yang meninggalkan Indonesia.
"Capital outflow semua lari balik ke Amerika Serikat," ungkap Jokowi dalam pertemuan beberapa waktu lalu, dikutip Jumat (27/10/2023).
Data Bank Indonesia (BI) merujuk pada transaksi 23-26 Oktober 2023 menunjukkan asing sebenarnya sudah mencatat inflow.
Investor asing di pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp1,04 triliun terdiri dari beli neto Rp2,18 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), jual neto Rp2,57 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp1,44 triliun di Sekuritas Rupiah BI (SRBI) Ini adalah kali pertama sejak pekan pertama September 2023, asing mencatat inflow.
Catatan BI menunjukkan asing mulai mencatat jual netto beruntun sejak Agustus 2023. Sepanjang tiga bulan terakhir, asing hanya mencatat net buy dua kali dalam satu pekan yakni pada awal September dan pekan ke empat Oktober 2023 atau pekan kemarin.
Derasnya capital outflow ini terjadi secara beruntun sejak minggu ke-4 September khususnya dalam data transaksi 25-27 September 2023 yang tercatat investor asing di pasar keuangan domestik jual neto Rp7,77 triliun terdiri dari jual neto Rp7,86 triliun di pasar SBN, jual neto Rp2,07 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp2,16 triliun di SRBI.
2. Suku bunga AS masih akan ketat
Pelaku pasar berekspektasi bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan memberlakukan kebijakan suku bunga tinggi dalam waktu lama atau higher for longer.
Ekspektasi ini muncul setelah Chairman The Fed Jerome Powell pada September lalu mengatakan inflasi masih harus diturunkan sesuai target The Fed di kisaran 2%.
Risalah pertemuan The Fed terakhir juga mengisyaratkan adanya satu kenaikan suku bunga.
Terlebih, data ekonomi AS masih panas.
Aktivitas bisnis di AS meningkat pada Oktober 2023. Data S&P Global Manufacturing PMI Flash menunjukkan aktivitas bisnis AS meningkat ke level ekspansif yakni 50, dari 49,8 pada September.
S&P Global Service PMI Flash juga menunjukkan penguatan menjadi 50,9 pada Oktober, dari 50,1 pada September. Ekonomi AS masih tumbuh kencang 4,9% (year on year/yoy) pada kuartal III-2023, tertinggi sejak kuartal IV-2022 atau hampir dua tahun.
Permintaan dari sektor manufaktur AS juga tumbuh kencang 4,7% pada September, dari kontraksi 0,1% pada Agustus 2023. Klaim pengangguran tercatat naik 10.000 menjadi 210.000 pada pekan yang berakhir 21 Oktober 2023. Kendati naik tetapi klaim pengangguran masih dalam kisran terendah dalam delapan bulan terakhir. Data-data ini diprediksi membuat The Fed masih akan hawkish ke depan.
3. Dolar AS terbang dan imbal hasil US Treasury menjulang
Ekspektasi pasar mengenai kebijakan higher for longer dari The Fed membuat dolar AS dan imbal hasil terus melambung. Dolar kembali menjadi primadona karena statusnya sebagai aset aman serta menjadi penopang bagi ekonomi AS.
Imbal hasil US Treasury 10 tahun stagnan di angka 4,85%. Imbal hasil masih berada di level tertingginya dalam 16 tahun terakhir.
Indeks dolar juga masih kencang di posisi 106,56. Posisi tersebut sedikt lebih rendah dibandingkan hari sebelumnya yakni 106,6 tetapi masih di kisaran tertinggi dalam 11 bulan terakhir.
Kenaikan imbal hasil US Treasury ini berimbas pada lonjakan imbal hasil obligasi di negara lain. Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) terbang ke 7,27% pada Senin pekan ini sebelum melandai ke 7,16% pada perdagangan kemarin, Jumat (27/10/2023). Imbal hasil tersebut adalah yang tertinggi dalam 11 bulan terakhir.
4. Perang Israel vs Hamas
Perang di Timur Tengah antara Israel dan militant Palestina, Hamas, masih menjadi kekhawatiran global. Skala perang dikhawatirkan meluas setelah rudal Israel dikabarkan menghantam dua kota di Mesir.
Amerika Serikat(AS) danIran juga saling mengancam di tengah memanasnya perang. Juru bicara Gedung Putih John Kirby mengatakan Presiden AS Joe Biden mengingatkan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Khamenei.
Militer Israel mengatakan bahwa Hamas mendapatkan sokongan senjata dari negara lain. Terbaru, salah seorang sumber pejabat Tel Aviv menyebutkan bahwa sebagian dari senjata yang digunakan Hamas dalam serangan 7 Oktober diproduksi di Iran atau Korea Utara (Korut).
AS juga mengatakan Iran sengaja menyasar prajurit AS yang membantu pihak Israel.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Iran, Hossein Amir-Abdollahian, mengingatkan jika AS tidak bisa akan lolos dari incaran Iran jika pembantaian di Gaza tak juga berakhir.
Memasuki hari ke-21, serangan Israel ke Jalur Gaza makin intens dilakukan. Pecahnya konflik antara Israel dan kelompok Hamas dari Palestina juga telah melebar ke wilayah Tepi Barat (West Bank), dan bahkan negara-negara sekitar.
Secara total, 7.028 warga Palestina telah terbunuh sejak dimulainya konflik terbaru, di mana 66% di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Sebuah sumber medis mengatakan kepada Al Jazeera bahwa jumlah orang yang tewas setelah serangan Israel terbaru di kota Khan Younis di Gaza selatan telah meningkat menjadi 15 orang.
5. Lonjakan harga minyak
Harga minyak kembali melonjak pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (27/10/2023). Kemarin, harga minyak brent ditutup menguat 2,9% ke US$ 90,48 per barel sementara minyak WTI melesat 2,8% di posisi US$ 85,5 per barel.
Harga minyak terus mengendap di kisaran US$ 90 sejak September dan bahkan menembus US$ 92,38 pada 19 Oktober lalu yang menjadi rekor tertingginya sejak November 2022 atau 11 bulan terakhir.
Lonjakan harga minyak menjadi kekhawatiran tersendiri karena bisa memicu kenaikan inflasi. Padahal, banyak negara yang masih berjuang menekan inflasi.
6. Suku bunga tinggi
Meningkatnya ketidakpastian global membuat banyak bank sentral memilih untuk kembali menaikkan suku bunga. Selain karena inflasi yang meningkat, kenaikan suku bunga menjadi cara untuk meredam gejolak nilai tukar.
Singapura, Swedia, Turki, Rusia, Argentina, dan Indonesia adalah negara-negara yang kembali mengerek suku bunga. AS juga diproyeksi masih akan kembali mengerek suku bunga jika inflasi masih melambung.
Sumber: cnbcindonesia.com