Jakarta, Pantau Online -
Merujuk pada Refinitiv, harga batu bara ICE Newcastle kontrak Desember ditutup di posisi US$ 128,75 per ton atau naik 1,2% pada perdagangan Kamis (9/11/2023). Dengan demikian, harga batu bara sudah merangkak naik selama tiga hari beruntun dengan penguatan mencapai 5,32%.
Penguatan ini menjadi kabar baik setelah harga batu bara ambruk dan menyentuh level terendah dalam 28 bulan atau sejak 16 Juni 2021 pada Senin (6/11/2023) di posisi US$ 122,25 per ton. Kenaikan ini menjadikan si pasir hitam menembus level psikologis US$130 per ton.
Tidak hanya itu, harga batu bara telah menunjukkan penguatan tiga hari perdagangan beruntun setelah menyentuh level terendahnya. Sentimen ini menjadikan adanya kemungkinan harga batu bara kembali bangkit dari keterpurukannya, meski hampir tidak mungkin mencapai rekor tahun lalu akibat perang Rusia-Ukraina.
Penguatan harga terjadi seiring permintaan batu bara dunia yang semakin tinggi menjelang musim dingin pada belahan bumi utara. Kondisi ini mendorong peningkatan penggunaan pembangkit listrik untuk penghangat.
Selain itu, pemulihan industri global seiring meredanya penularan covid-19 dan tingkat produksi batu bara dunia yang rendah mendorong harga batu bara masih mampu bertahan di tengah era suku bunga tinggi.
Berbagai faktor tersebut tercermin dari tingkat ekspor batu bara termal Indonesia yang melampaui 413 juta metrik ton selama sepuluh bulan pertama tahun 2023, pencapaian baru yang menguatkan status Indonesia sebagai eksportir terbesar bahan bakar listrik beremisi tinggi.
Reuters mencatat pengiriman dari Indonesia melonjak 11,5% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2022 (year on year/yoy). Lonjakan ini mencapai sekitar dua kali lipat lebih tinggi dibanding pertumbuhan total ekspor batubara global yang diperkirakan akan mencapai rekor tertinggi baru pada 2023, meskipun terdapat upaya untuk melakukan transisi pada beberapa sistem energi utama dari bahan bakar fosil.
Untuk pertama kalinya, Indonesia berkontribusi lebih dari 50% ekspor batubara termal global selama periode Januari hingga Oktober, menurut data dari Kpler, yang menunjukkan keberhasilan Indonesia dalam merebut pangsa pasar dari eksportir pesaingnya.
Pangsa pasar Australia, eksportir batu bara terbesar kedua, adalah 19,4% pada 10 bulan pertama tahun 2023, turun dari 20% pada 2022, sementara eksportir batu bara terbesar ketiga, Rusia, memiliki pangsa sebesar 11%, turun dari 12,3% pada tahun 2022.
Afrika Selatan dan Kolombia, yang masing-masing merupakan eksportir terbesar keempat dan kelima, juga kehilangan pangsa pasarnya dibandingkan Indonesia pada tahun 2023. Amerika Serikat, eksportir terbesar keenam, sedikit memperoleh pangsa global.
Tiongkok adalah tujuan utama batubara Indonesia, bersama dengan Hong Kong, yang mengimpor 183 juta ton hingga bulan Oktober, atau sekitar 44% dari total ekspor Indonesia.
Angka tersebut naik 33% dibandingkan periode yang sama pada2022 dan menggambarkan peningkatan aktivitas industri Tiongkok pada 2023 dibandingkan dengan tingkat permintaan yang terhambat akibat Covid pada tahun lalu.
India merupakan pembeli batubara Indonesia terbesar kedua, menguasai sekitar 20% dari total pembeli batubara India (82 juta ton). Filipina merupakan pasar terbesar ketiga dengan pangsa 7,2% (30 juta ton).
Jepang, Korea Selatan dan Taiwan juga merupakan pembeli utama, dan, sama seperti Tiongkok, diperkirakan akan meningkatkan impor batubara mereka pada bulan-bulan terakhir tahun ini karena persediaan utilitas menjelang kenaikan musiman permintaan listrik untuk pemanas.
Kunci pertumbuhan pangsa pasar Indonesia adalah harga batubara Indonesia yang relatif rendah dibandingkan dengan batubara dengan kadar lebih tinggi yang dijual oleh pesaingnya seperti Australia.
Nilai acuan batubara termal Indonesia - dengan nilai kalori 4.200 kilokalori per kilogram (kkal/g) - sejauh ini rata-rata mencapai US$65 per ton pada 2023, menurut LSEG.
Jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata US$184 per ton untuk kalori 6.200 kkal/kg batubara yang dikirim dari Newcastle di Australia.
Harga ekspor dari Kolombia, Afrika Selatan, Mozambik, dan Rusia berkisar antara harga Indonesia dan Australia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan harga yang berkelanjutan dibandingkan negara-negara tetangga karena kualitas batubara Indonesia yang lebih rendah dibandingkan dengan kualitas batubara lainnya.
Indonesia juga menikmati keunggulan biaya pengangkutan yang signifikan dibandingkan konsumen batubara terbesar di Tiongkok dan India, sehingga menjadikan india sebagai pemasok populer bagi importir yang sensitif terhadap biaya di seluruh Asia.
Harga untuk mengirimkan satu ton batubara dari Indonesia ke Tiongkok saat ini berkisar US$8-10, dibandingkan dengan US$14-15 per ton untuk pelayaran Australia ke Tiongkok, menurut data Shanghai Shipping Exchange.
Waktu perjalanan dari Indonesia ke pusat impor batubara utama di Tiongkok dan India juga kira-kira setengah dari waktu perjalanan dari Australia, sehingga memberikan keuntungan bagi eksportir india dalam mendapatkan kesepakatan batu bara spot untuk kargo yang mendesak.
Kombinasi antara kedekatan lokasi dan harga yang rendah tampaknya akan membuat Indonesia tetap bisa mengekspor batubara lebih lanjut pada sisa tahun ini, ketika konsumsi batubara cenderung mencapai puncaknya di belahan bumi utara untuk mengatasi musim dingin.
Penurunan harga batu bara Australia yang baru-baru ini terjadi ke level terendah sejak pertengahan 2021 juga akan memicu peningkatan minat terhadap kualitas batubara Australia yang berkualitas lebih tinggi di kalangan perusahaan utilitas yang ingin memaksimalkan output listrik sekaligus membatasi emisi.
Namun, bagi produsen listrik yang masih fokus menghasilkan listrik sebanyak mungkin dengan harga serendah mungkin, batu bara Indonesia akan tetap menjadi pilihan utama mereka.
Artinya, ekspor batu bara setahun penuh Indonesia akan memecahkan rekor sebelumnya pada 2023 secara keseluruhan.
Sumber: cnbcindonesia.com